28 tahun kemudian perlu menjadi pengingat yang jelas bahwa yang terinfeksi bukan zombie

28 tahun kemudian perlu menjadi pengingat yang jelas bahwa yang terinfeksi bukan zombie

game

28 Hari Kemudian hadir membawa pendekatan unik terhadap genre horor. Alih-alih menampilkan zombie bangkit dari kuburan, "zombie" dalam film karya Danny Boyle ini merupakan manusia biasa yang terinfeksi oleh virus buatan bernama "virus kemarahan". Dan yang paling menyeramkan, mereka bisa berlari.

Setelah bertahun-tahun perdebatan antara Danny Boyle dan penulis Alex Garland tentang apakah akan membuat sekuel dari 28 Weeks Later, akhirnya mereka sepakat untuk kembali ke akar cerita dengan sebuah visi yang jelas. Boyle mengatakan kepada Polygon bahwa tujuannya satu: membuat film yang seorisinal mungkin.

"Ide film ini, dalam banyak hal, adalah menjadi sesuatu yang benar-benar orisinal," ujar Boyle tentang 28 Years Later. "Strukturnya sangat tidak biasa, dan bahkan lebih mengejutkan ketika menyadari bahwa sepertiga terakhir film ini menjadi refleksi emosional tentang kefanaan manusia—sekaligus memperingati dan merayakannya."

28 Years Later berkisah tentang seorang anak laki-laki berusia 12 tahun bernama Spike (diperankan Alfie Williams) yang tumbuh di kota pulau berdinding yang terisolasi dari zona karantina. Ia tak pernah melihat dunia luar karena seluruh Inggris tertutup pasca penyebaran virus kemarahan. Ayahnya, Jamie (Aaron Taylor-Johnson), percaya bahwa Spike harus tumbuh sebagai pelindung tangguh. Mereka pun berburu di alam liar, sementara sang ibu, Isla (Jodie Comer), mengalami penyakit misterius yang tak bisa ditangani komunitas tertutup mereka.

Film ini tidak hanya mengangkat elemen horor dan survival, tapi juga menyajikan lapisan emosional dan sosial yang dalam. Garland menjelaskan bahwa mereka sengaja mengaburkan batas antara manusia dan yang terinfeksi. "Kami ingin menunjukkan bahwa mereka tidak benar-benar berbeda dengan kita. Mereka hanyalah manusia dengan penyakit yang dilihat dokter secara medis, namun secara naluriah dianggap 'lain'. Kita semua punya sisi itu dalam diri kita."

Dalam konteks dunia yang telah hancur selama 28 tahun, Garland juga mengeksplorasi dua kemungkinan besar: satu, bahwa infeksi telah musnah dan dunia kembali normal, atau dua, bahwa infeksi masih bertahan dan berkembang. Pilihan kedua itulah yang menjadi landasan evolusi karakter-karakter yang terinfeksi dalam film ini—mereka bukan hanya korban, tapi bentuk baru dari spesies manusia yang terpaksa beradaptasi demi bertahan hidup.

Kemarahan, ketakutan, dan naluri bertahan hidup menjadi benang merah dari setiap karakter, baik yang terinfeksi maupun yang tidak. "Jika kamu melihat film ini secara detail, semua itu adalah bagian dari diri kita juga," kata Boyle. Tidak ada karakter yang benar-benar ‘selamat’ secara moral, karena semua orang memiliki potensi untuk menjadi liar, marah, atau bahkan mematikan dalam situasi ekstrem.

Di balik semua adegan menegangkan dan dunia yang kacau, 28 Years Later juga menjadi kritik sosial yang tajam. Garland menyentuh isu nostalgia berlebihan—bagaimana masyarakat masa kini terlalu sibuk menoleh ke masa lalu, mengidealkan 'yang dulu', dan lupa akan realita keras yang menyertainya. Ini menjadi pengingat bahwa memori sering kali bersifat selektif dan penuh ilusi.

Film ini memang terasa cukup lengkap ketika kredit akhir bergulir. Namun, Boyle dan Garland tetap menyimpan benih untuk kelanjutan cerita. “Kami harus tetap mengakui film pertama, meskipun dalam skala minimal,” ujar Boyle. “Dan Cillian Murphy, aktor utama dalam 28 Hari Kemudian, jelas akan menjadi kunci penting dari trilogi ini—walaupun, belum sekarang.”

Ngomong-ngomong soal bertahan hidup, jangan lupa juga ya buat bertahan di papan atas Higgs Domino! Yuk, Topup Higgs Domino di Topup Desa — proses cepat, aman, dan pastinya termurah!